Beranda | Artikel
Mengkaji Eksistensi Allah dalam Kapasitas Akidah yang Benar (Bag. 2)
12 jam lalu

Bukti secara logika

Pembahasan kali ini adalah  tentang pembuktian eksistensi Allah secara logika. Pembuktian ini terutamanya digunakan untuk membantah orang-orang dengan fitrah dan pemikiran yang sudah melenceng, bukan pembuktian utama untuk mencari kebenaran. Karena pada dasarnya, fitrah saja sudah lebih dari cukup untuk meyakini keberadaan-Nya, meresapi kehadiran-Nya, serta merenungi peran-Nya yang sangat sentral dalam kehidupan kita semua, bukan hanya sebatas sebagai muslim, tetapi juga sebagai manusia secara umum.

Tentu saja, pembuktian eksistensi Allah secara logika yang akan dibahas kali ini tetap berdasarkan dalil-dalil syar’i dan tanpa berasaskan “meragukan sesuatu” yang biasa digunakan oleh ahli filsafat ketika ingin membahas sebuah pembuktian, karena Allah dan segala yang berkaitan dengan-Nya adalah sesuatu yang harus kita yakini dan menjadi asas keyakinan, sebagaimana iman kepada Allah adalah inti dari rukun iman yang 6. Lantas, hal-hal syar’i lainnya entah itu keyakinan ataupun amalan akan mengikuti (dengan tetap berada dalam koridor yang sesuai syariat).

Perlu dipahami bersama pula bahwa seluruh bukti-bukti dan argumen logis, sesungguhnya sudah dijelaskan pula dan dibawakan dalam Al-Qur’an, bahkan dalam narasi yang lebih esensial sekaligus ringkas dan mudah dipahami. Untuk itu, meskipun membahas dalil logika, hendaklah kita tetap berlandaskan arahan dari Al-Qur’an. Berikut adalah beberapa dalil logika terkait eksistensi Allah beserta dalil-dalil syar’i-nya,

Dalil penciptaan

Dalil logika ini bisa dikatakan sebagai bukti terkuat setelah fitrah dalam pembuktian eksistensi dan keberadaan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Argumen dalil pembuktian ini adalah bahwa segala sesuatu pasti ada yang mengadakannya, atau dalam pendekatan hubungan antara Tuhan (pencipta) dan makhluk (yang diciptakan). Bisa dikatakan, “Setiap makhluk pasti ada penciptanya.”

Ibnu Taimiyah rahimahullah menuturkan bahwa adalah sebuah keniscayaan dalam pengetahuan, sesuatu sebelumnya tidak ada, tidaklah mungkin tiba-tiba muncul tanpa ada yang mengadakannya. Ini adalah sebuah pengetahuan dasar dan universal, bahkan anak kecil pun tahu akan hal ini. Sebagai contoh saja, ketika seorang anak kecil tiba-tiba dipukul tanpa tahu oleh siapa, lalu saat ia menanyakan siapa yang memukulnya, ia malah dijawab tidak ada seorang pun yang memukulnya. Anak kecil itu tentu spontan tidak akan percaya.[1] Itu hanyalah sesuatu yang kecil, bagaimana dengan seluruh alam semesta dan seisinya ini? Tercipta dengan sendirinya? Mustahil!

Dikisahkan pula, bahwasanya orang Arab Badui apabila mereka ditanya tentang bukti keberadaan Allah, mereka akan menjawab,

يا سبحان الله إن البعر ليدل على البعير، وإن أثر الأقدام لتدل على المسير، فسماء ذات أبراج، وأرض ذات فجاج، وبحار ذات أمواج ألا يدل ذلك على وجود اللطيف الخبير؟.

Mahasuci Allah! Bukankah kotoran unta membuktikan akan unta, dan jejak kaki menunjukan ada yang lewat? Maka, langit dengan gugusan bintangnya, bumi yang terbentang begitu luas, lautan dengan ombaknya, bukankah itu sudah menunjukan akan adanya Yang Mahalembut lagi Mahateliti?[2]

Logika ini telah disampaikan dalam Al-Qur’an, yaitu firman-Nya,

أَمْ خُلِقُوا۟ مِنْ غَيْرِ شَىْءٍ أَمْ هُمُ ٱلْخَـٰلِقُونَ

Atau apakah mereka tercipta tanpa asal-usul ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)?” (QS. At-Thur: 35)

Pertanyaan dalam ayat ini adalah sebuah istifham inkariy, mengandung gaya sarkasme dalam pembawaannya, sekaligus juga bersifat retoris sebagai pertanyaan yang menggugah dan menuntut akal pikiran kita untuk berpikir mendalam.

Apakah manusia tercipta sendiri tanpa adanya yang menciptakan mereka? Tentu ini mustahil, bahkan logika sederhana pun pasti mengingkarinya. Ataukah manusialah yang menciptakan diri mereka sendiri? Jelas ini lebih mustahil lagi. Lantas apa? Maka, kebenarannya adalah bahwa ada yang menciptakan mereka. Siapa yang mampu melakukan itu selain Allah Subhanahu wa Ta’ala?[3]

Dengan ayat yang pendek ini, Allah sudah membantah absurditas dalam penciptaan, dan bahwa sesungguhnya tidak ada yang tercipta dengan sendiri, terlebih menciptakan dirinya sendiri. Pasti dan harus ada yang menciptakannya, alam semesta yang megah ini, manusia dan makhluk lainnya yang begitu kompleks. Hal ini merupakan pengetahuan mendasar yang intuitif dan naluriah bagi setiap jiwa yang berakal.

Dalil keselarasan dan keseimbangan

Dalil logika ini menjelaskan keseimbangan yang ada pada makhluk Allah, termasuk proporsionalitas dan bentuk yang presisi, satu dengan makhluk lainnya yang selaras. Untuk itu, ada dua argumen yang menopang dalil logika ini:

Pertama: Bahwa seluruh alam semesta dan seisinya sudah mencapai tahap puncak keteraturan dan keselarasan dalam tatanan dan harmoninya.

Kedua: Bahwa seluruh keteraturan, keselarasan, dan keseimbangan pada seluruh alam semesta ini menuntun pada keberadaan entitas yang merancangnya dengan cermat, yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Segala yang Allah ciptakan memiliki harmoni dan hikmah, juga semuanya sangat detail dan sempurna, bahkan sekecil dan seminor apa pun sesuatu, pastilah ada manfaat dan hikmah keberadaannya. Itulah ciptaan Allah, yang tidak ada siapa pun yang bisa menandingi dan menyaingi barang secuil pun dari ketelitian serta detail-detail dan segala keseimbangan dan keselarasan pada ciptaan-Nya.

Dalil logika ini telah banyak ditunjukkan di Al-Qur’an, di mana dalam banyak firman-Nya, Allah menyuruh kita untuk melihat dan berpikir tentang kesempurnaan. Allah juga mengabarkan dengan jelas bahwa ciptaan-ciptaan-Nya yang harmoni, sempurna, saling seimbang, dan selaras adalah absolut benar-benar adalah hasil dari penciptaan yang Dia (Allah Ta’ala) lakukan. Memangnya, siapa lagi yang bisa melakukan penciptaan dengan sesempurna Allah?

Di antara ayat-ayat yang menunjukkan tentang ini adalah,

صُنْعَ ٱللَّهِ ٱلَّذِىٓ أَتْقَنَ كُلَّ شَىْءٍ ۚ 

(Itulah) ciptaan Allah yang mencipta dengan sempurna segala sesuatu.” (QS. An-Naml: 88)

ٱلَّذِىٓ أَحْسَنَ كُلَّ شَىْءٍ خَلَقَهُۥ ۖ

Yang memperindah segala sesuatu yang Dia ciptakan…” (QS. As-Sajdah: 7)

لَقَدْ خَلَقْنَا ٱلْإِنسَـٰنَ فِىٓ أَحْسَنِ تَقْوِيمٍۢ

Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” (QS. At-Tin: 4)

ٱلَّذِى خَلَقَكَ فَسَوَّىٰكَ فَعَدَلَكَ

Yang telah menciptakanmu lalu menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan (susunan tubuh)mu seimbang.” (QS. Al-Infithar: 7)

Dalil refleksi diri manusia

Meski secara umum dalil logika ini termasuk ke dalam jenis dalil logika yang pertama, dalil penciptaan, akan tetapi perlu disebutkan pula secara khusus. Hal ini karena Allah Ta’ala mengarahkan di dalam kitab-Nya agar kita mengamati dan mentadaburi sekaligus berefleksi pada penciptaan manusia.

Manusia merenungkan dirinya, mentadaburi kehidupannya, dan berkontemplasi bagaimana ia bisa tercipta? Refleksi seperti ini pada akhirnya, lantas akan mengantarkan pada satu arti, yaitu adanya eksistensi Allah yang mengaturnya, dari penciptaannya yang sebelumnya sama sekali tidak ada, sampai kehidupannya termasuk segala yang terjadi dan yang ada di dalamnya, kematiannya, dan seterusnya.

Berhujah dan berdalil atas eksistensi Allah dengan dalil refleksi ini telah diarahkan oleh Allah dalam berbagai firman-Nya, seperti pada ayat berikut,

سَنُرِيهِمْ ءَايَـٰتِنَا فِى ٱلْـَٔافَاقِ وَفِىٓ أَنفُسِهِمْ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ ٱلْحَقُّ ۗ أَوَلَمْ يَكْفِ بِرَبِّكَ أَنَّهُۥ عَلَىٰ كُلِّ شَىْءٍۢ شَهِيدٌ

Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kebesaran) Kami di segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu adalah benar. Tidak cukupkah (bagi kamu) bahwa Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?” (QS. Fussilat: 53)

Allah menyebutkan bahwa Dia akan memperlihatkan tanda-tanda-Nya “pada diri mereka sendiri” menandakan bahwa adanya petunjuk di sana, petunjuk yang mengantarkan pada kebenaran akan Allah Ta’ala. Dalam ayat lain disebutkan,

وَفِىٓ أَنفُسِكُمْ ۚ أَفَلَا تُبْصِرُونَ

Dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka, apakah kamu tidak memperhatikan?” (QS. Adz-Dzariyat: 21)

Perhatikan ayat ini, Allah mengarahkan pada manusia bagaimana supaya mereka dapat menemukan bukti atas diri-Nya.

Ibnu Katsir menuturkan ketika menjelaskan surah Adz-Dzariyat ayat 20-21, bahwa di antara tanda-tanda pada manusia seperti perbedaan bahasa, warna kulit, keinginan, dan kemampuan manusia, juga perbedaan tingkat akal, pemahaman, gerakan, hingga kondisi kebahagiaan dan kesengsaraan di antara manusia menunjukkan bahwa semua ini tidak mungkin terjadi tanpa rancangan yang cermat. Bahkan, dalam anatomi manusia, setiap anggota tubuh diciptakan dengan sempurna, ditempatkan pada posisi yang ideal untuk memenuhi fungsi dan kebutuhan masing-masing. Semuanya menunjukan akan kebesaran dan kebijaksanaan Allah Subhanahu wa Ta’ala.[4]

Termasuk di dalam refleksi ini adalah manusia merenungkan bagaimana ia tercipta, terkhusus prosesnya, transisi dari satu fase ke fase lainnya. Dari yang awalnya hanya setetes mani, kemudian menjadi segumpal darah (‘alaqah), lalu menjadi segumpal daging (mudghah). Bagaimana ia kemudian bisa memiliki anggota tubuh, bisa memiliki akal pikiran, dan seterusnya sampai terlahir menjadi bayi. Manusia itu sendiri tidak akan mampu melakukan hal itu, merubah dirinya sendiri dari setetes mani menjadi segumpal darah, bagaimana caranya? Bahkan, kesadaran pun saat itu ia belum punya, masih sebatas prototype yang belum sempurna dan tidak bisa berbuat apa-apa. Lantas, siapa kalau bukan Allah Yang Mahakuasa yang melakukan ini?

Dalil alam semesta

Pada dasarnya, dalil ini masih termasuk ke dalam Dalil Penciptaan yang disebutkan di awal, juga tidak jauh berbeda dengan Dalil Refleksi Diri Manusia, hanya saja perbedaannya adalah pada objeknya.

Di setiap ciptaan Allah, pastinya ada tanda-tanda yang pada akhirnya merujuk pada kebesaran-Nya, keagungan-Nya, yang tidak ada seorang pun atau entitas apa pun yang bisa menyamai-Nya, terkhusus pada alam semesta yang begitu penuh misteri ini dan pada diri-diri tiap manusia yang begitu kompleks. Untuk itu, kita sebagai manusia yang berakal diminta untuk merenunginya dan mentadaburinya.

Banyak sekali firman Allah yang mengarahkan kita pada perenungan dan pengamatan akan alam semesta,

إِنَّ فِى خَلْقِ ٱلسَّمَـٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ وَٱخْتِلَـٰفِ ٱلَّيْلِ وَٱلنَّهَارِ لَـَٔايَـٰتٍۢ لِّأُو۟لِى ٱلْأَلْبَـٰبِ

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal.” (QS. Ali ‘Imran: 190)

Juga pada surah Yasin ayat 37-40, yang artinya,

Dan suatu tanda (kebesaran Allah) bagi mereka adalah malam. Kami tanggalkan siang dari (malam) itu, maka seketika itu mereka (berada dalam) kegelapan, dan matahari berjalan di tempat peredarannya. Demikianlah ketetapan (Allah) Yang Mahaperkasa, Maha Mengetahui. Dan telah Kami tetapkan tempat peredaran bagi bulan, sehingga (setelah ia sampai ke tempat peredaran yang terakhir) kembalilah ia seperti bentuk tandan yang tua. Tidaklah mungkin bagi matahari mengejar bulan dan malam pun tidak dapat mendahului siang. Masing-masing beredar pada garis edarnya.” (QS.Yasin: 37-40)

Dalil petunjuk dan arahan

Menilik pada fenomena universal, yaitu setiap makhluk hidup memiliki apa yang disebut sebagai insting atau naluri yang membuatnya dapat bertahan hidup, dapat survive di alam ini, menghindari marabahaya, menjaga keberlangsungan hidupnya, dan sebagainya. Hal ini bukanlah sesuatu yang serta merta ada tanpa ada yang memberinya, melainkan pada sejatinya, Allahlah sebagai penciptanya yang mengarahkan pada setiap makhluk hidup untuk dapat dan condong kepada melakukan atau menghindari sesuatu secara alamiah. Allah Ta’ala berfirman,

رَبُّنَا ٱلَّذِىٓ أَعْطَىٰ كُلَّ شَىْءٍ خَلْقَهُۥ ثُمَّ هَدَىٰ

Tuhan kami ialah (Tuhan) yang telah memberikan bentuk kejadian kepada segala sesuatu, kemudian memberinya petunjuk.” (QS. Taha: 50)

As-Sa’di rahimahullah menuturkan dalam tafsirnya ketika menjelaskan bagian ayat “ثُمَّ هَدَىٰ” (kemudian memberinya petunjuk), bahwa Allah membimbing setiap makhluk menuju tujuan dan perannya diciptakan. Petunjuk sekaligus arahan dari Allah ini bersifat universal dan dapat diamati secara nyata pada seluruh makhluk, tidak terkecuali. Setiap makhluk memiliki kecenderungan alami untuk mendapatkan manfaat yang menjadi tugas orientasinya, serta menghindarkan dirinya dari hal-hal yang membahayakan. Bahkan, hewan yang tidak memiliki akal sekalipun diberi kemampuan naluriah yang memadai oleh Allah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Itulah mengapa hewan bisa mencari makan, menghindari ancaman, merawat dan membesarkan anaknya, berkembang biak, dan sebagainya.[5][6]

Itulah di antara dalil-dalil atau bukti serta argumen logika untuk membuktikan akan eksistensi Allah, atau sebagai penguat keimanan bagi kita selaku umat muslim yang sudah mengakui keberadaan Allah sebagai postulat tanpa perlu pembuktian apa pun.

Terakhir, tetap yang perlu digarisbawahi adalah bahwa dalil-dalil logika untuk memahami agama, terutamanya yang berhubungan dengan keyakinan dan ketuhanan tetaplah sebagai landasan sekunder. Adapun landasan primernya tetaplah dalil-dalil syar’i baik Al-Qur’an maupun hadis.

Namun, mengetahui dan memahami dalil logika juga bukanlah hal yang buruk dan sepenuhnya salah. Karena khususnya dalam pembahasan ini, Allah Ta’ala pun mengarahkan kita untuk memperhatikan segala tanda dan fenomena yang ada di alam semesta, baik itu mikrokosmos (kompleksitas manusia juga hewan) pun juga makrokosmos (bumi, langit, semesta).

Semoga saja penjabaran tentang dalil-dalil logika terkait eksistensi Allah ini dapat menjadi suplemen argumen untuk membantah orang-orang yang fitrahnya melenceng, jika kita dihadapkan pada situasi tersebut.

Wallahu Ta’ala A’lam bis-shawab.

Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wal hamdulillah.

***

Penulis: Abdurrahman Waridi Sarpad


Artikel asli: https://muslim.or.id/102774-mengkaji-eksistensi-allah-dalam-kapasitas-akidah-yang-benar-bag-2.html